Jakarta — Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) menyoroti serius kasus keracunan massal yang terjadi di sejumlah sekolah akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG). Berdasarkan data yang dirilis CISDI, setidaknya 5.626 siswa menjadi korban sejak program ini dijalankan. PB PII menilai kasus tersebut merupakan bentuk kegagalan tata kelola kebijakan publik dan harus segera dievaluasi secara menyeluruh.
Kabid Riset dan Pengembangan Data PB PII, Gusti Rian Saputra, menegaskan bahwa penyelenggaraan program sebesar MBG seharusnya memiliki payung hukum yang jelas dan mekanisme pengawasan yang ketat. “Sampai saat ini belum ada Peraturan Presiden atau regulasi eksekutif lain yang secara komprehensif mengatur MBG. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan koordinasi dan pertanggungjawaban antar lembaga pusat maupun daerah,” ungkap Gusti pada Sabtu (27/9). Ia menambahkan, PB PII mendorong agar pemerintah segera menyusun regulasi formal, menetapkan standar keamanan pangan, serta membuka transparansi data agar publik dapat melakukan kontrol.
Gusti menilai kasus keracunan ini berdampak luas terhadap kepercayaan masyarakat terhadap sekolah dan negara. “Sekolah adalah ruang kepercayaan. Jika program yang dilaksanakan justru menimbulkan kerugian bagi siswa, maka akan muncul ketakutan dan resistensi dari orang tua. Bahkan, daerah dengan kapasitas lemah justru paling rentan terdampak,” jelasnya. Karena itu, PB PII mendukung seruan moratorium MBG untuk memberi ruang evaluasi mendalam sebelum program kembali dijalankan.
Sementara itu, Ketua Umum PB PII, Abdul Kohar Ruslan, menegaskan bahwa negara tidak boleh bermain-main dengan keselamatan pelajar. “Pelajar bukan objek, mereka subjek yang memiliki hak atas perlindungan. Tidak boleh ada kebijakan publik yang justru mendatangkan risiko kesehatan,” ujarnya. Abdul Kohar juga menekankan pentingnya akuntabilitas penggunaan anggaran publik.
“Setiap rupiah APBN harus bisa dipertanggungjawabkan. Jika ada pihak yang lalai atau terlibat dalam penyimpangan pengadaan makanan, harus ada sanksi tegas secara administratif maupun pidana,” tambahnya.
PB PII menyatakan akan membuka saluran aduan publik bagi pelajar dan orang tua, serta mendorong dialog antara pemerintah, DPR, dan masyarakat sipil untuk membahas perbaikan program MBG. “Jika pemerintah tetap memaksakan program tanpa evaluasi menyeluruh, PB PII siap melakukan advokasi publik agar suara pelajar dan masyarakat didengar,” tegas Abdul Kohar.
Melalui pernyataan resmi ini, PB PII mendesak pemerintah untuk segera melakukan moriatorium MBG, mengevaluasi tata kelola dan kualitas program, serta memastikan kompensasi dan pemulihan bagi korban keracunan. “MBG bisa menjadi kebijakan baik jika dijalankan dengan standar tinggi, bukan sekadar ambisi angka besar tanpa jaminan keselamatan,” tutup Abdul Kohar.